Selamat datang di blog saya, Ini merupakan blog dimana rekan-rekan bisa mendapatkan informasi tentang dunia islam. selamat mebaca, semoga bermanfaat. aamiin..
Selasa, 13 Oktober 2015
Selasa, 01 September 2015
Khitah Islam Nusantara
Oleh Ma’ruf Amin
Akhir-akhir ini Islam Nusantara jadi wacana publik. Tak hanya di kalangan warga Nahdlatul Ulama (nahdliyin), tetapi seluruh masyarakat Indonesia ikut memperbincangkannya.
Seolah-olah ada anggapan bahwa Islam Nusantara adalah hal baru. Hal ini wajar karena Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas terbesar bangsa ini. Jika terjadi perubahan di dalam organisasi ini, pengaruhnya segera dirasakan oleh seluruh negeri. Karena itu, bentuk apresiasi publik seperti ini sangatlah positif, baik bagi NU maupun bagi negeri ini.
Sebagai tema Muktamar NU 2015 di Jombang yang digelar beberapa waktu lalu, Islam Nusantara memang baru dideklarasikan. Namun, sebagai pemikiran, gerakan, dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi kita. Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah al-Nadliyyah. Mengapa di sini perlu penyifatan al-Nahdliyyah? Jawabnya adalah karena banyak kalangan lain di luar NU yang juga mengklaim sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah (disingkat Aswaja), tetapi memiliki cara pikir, gerakan, dan amalan yang berbeda dengan NU.
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pun mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah, tetapi sepak terjang mereka selama ini sangat ditentang NU. Karena itu, Islam Nusantara adalah cara dan sekaligus identitas Aswaja yang dipahami dan dipraktikkan para mua’sis (pendiri) dan ulama NU. Islam Nusantara adalah cara proaktif warga NU dalam mengidentifikasi kekhususan-kekhususan yang ada pada diri mereka guna mengiktibarkan karakteristik-karakteristik ke-NU-an. Karakteristik-karakteristik ini bersifat peneguhan identitas yang distingtif, tetapi demokratis, toleran, dan moderat.
Tiga pilar
Pada dasarnya ada tiga pilar atau rukun penting di dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyyah/amaliah).
Pilar pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash (al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di dalam memahami teks-teks Al Quran. Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, menyatakan jika ”al-jumûd ‘alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi”, pembacaan yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.
Pilar kedua adalah gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jamiah (perkumpulan) dan jemaah (warga) yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik. Prosesnya terus-menerus. Inovasi pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap aktif dan kritis.
Pilar ketiga adalah amaliah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliah yang diperintah Al Quran dan Sunah Nabi. Dengan cara demikian, amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul fikih disebut dengan ’urf atau ‘ãdat tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian inilah pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri NU kepada kita semua.
Penanda Islam Nusantara
Ada lima penanda Islam Nusantara. Pertama, reformasi (islahiyyah). Artinya, pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan para nahdliyin selalu berorientasi pada perbaikan. Pada aspek pemikiran, misalnya, selalu ada perkembangan di sana (tatwir al-fikrah), dan karena itu, pemikiran Islam Nusantara adalah pemikiran yang ditujukan untuk perbaikan terus. Cara berpikirnya adalah tidak statis dan juga tidak kelewat batas.
Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Jika sebuah gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan pertimbangan. Tawazunniyyah ini menimbang dengan keadilan.
Ketiga, tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Satu hal yang harus dipegang dalam kesukarelaan ini adalah dalam menjalankan pemikiran, gerakan dan amalan, nahdliyin tidak boleh memaksakan pada pihak lain (lã ijbãriyyah). Artinya, orang NU harus memperhatikan hak-hak orang di luar NU. Secara internal, warga NU juga tak boleh bersikap fatalistik (jabbãriyyah), harus senantiasa berusaha dan berinovasi menegakkan tiga pilar Islam Nusantara di atas. Dengan kata lain, tidak ada pemaksaan, tetapi bukan tidak berbuat apa-apa.
Keempat, santun (akhlaqiyyah), yaitu segala bentuk pemikiran, gerakan, dan amalan warga Islam Nusantara dilaksanakan dengan santun. Santun di sini berlaku sesuai dengan etika kemasyarakatan dan kenegaraan serta keagamaan.
Kelima, tasamuh, yang berarti bersikap toleran, respek kepada pihak lain. Sikap toleran ini tidak pasif, tetapi kritis dan inovatif. Dalam bahasa keseharian warga NU adalah sepakat untuk tidak sepakat.
Secara konseptual, kelima penanda Islam Nusantara tersebut mudah diucapkan, tetapi sulit direalisasikan. Sulit di sini berbeda dengan tidak bisa melaksanakan. Misalnya, sikap Islam Nusantara dalam menyikapi dua arus formalisme keagamaan dan substansialisasi keagamaan berada di tengah. Kedua arus boleh diperjuangkan selama tidak menimbulkan konflik. Prinsip yang harus dipegang dalam hal ini adalah kesepakatan (konsensus), demokratis, dan konstitusional.
Ijtihad
Hal penting lain yang ingin penulis sampaikan adalah persoalan ijtihad. Apakah model ijtihad Islam Nusantara? Ijtihad Islam Nusantara adalah ijtihad yang selama ini dipraktikkan oleh NU. Prinsipnya, Islam tak hanya terdiri pada aspek yang bersifat tekstual, tetapi juga aspek yang bersifat ijtihadiyah. Ketika kita menghadapi masalah yang tak ada di dalam teks, maka kita menganggap masalah selesai, artinya tidak dicarikan jawaban.
Islam Nusantara tidak berhenti di sini, tetapi melihat dan mengkajinya lebih dulu lewat mekanisme-mekanisme pengambilan hukum yang disepakati di kalangan nahdliyin. Hasil dari mekanisme metodologi hukum ini (proses istinbãt al-hukm) harus dibaca lagi dari perspektif Al Quran dan Sunah. Mekanisme metodologi hukum yang biasa dipakai nahdliyin di sini misalnya adalah maãlahah (kebaikan).
Ilustrasinya, jika sebuah amalan tak ada di rujukan tekstualnya, tetapi ia membawa kebaikan di tengah masyarakat, hal itu justru harus dilestarikan: ”idhã wujida nasssS fathamma masslahah, idhã wujida al-maslahah fathamma shar’ al-Lãh—jika ditemukan teks, maka di sana ada kebaikan, dan jika ditemukan kebaikan, maka di sana adalah hukum Allah”. Ini uraian singkat dan pokoknya saja. Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan di ruang yang lebih luas.
Pada akhir tulisan pendek ini saya ingin mengatakan Islam Nusantara harus lebih digali lagi sebagai perilaku bangsa agar tidak ada lagi hal-hal yang tidak kita inginkan justru terjadi.
MA’RUF AMIN,
RAIS AAM NAHDLATUL ULAMA
Tulisan ini dimuat di Kompas Cetak, 29 Agustus 2015 –
http://www.arrahmah.co.id/opini/khittah-islam-nusantara-oleh-kh-maruf-amin-13378
Sabtu, 22 Agustus 2015
Metode Bahtsul Masa’il NU
Abdul Moqsith Ghazali July 15, 2015 605 Views
IslamLib – Tak bisa dipungkiri mengenai terlalu dominannya fikih-madzhab Syafii di lingkungan NU. Ini menurut (Alm.) Kiai Sahal Mahfudz, bukan karena para kiai NU menolak aqwal di luar fikih Syafii, melainkan karena keterbatasan referensi fikih non-Syafii yang dimiliki para kiai NU. Namun, pada hemat saya, masalah sebenarnya bukan terletak pada apakah kita pro-Imam Syafii dan kontra imam madzhab lain, tapi pada apakah kita pro-para ulama Syafiiyah dan “kontra” Imam Syafii.
Betapa sering disaksikan, ketika berbicara mengenai fikih Syafii misalnya, para kiai lebih suka merujuk pada buku-buku karya ulama Syafiiyah seperti Imam Nawawi dan Imam Rofii ketimbang pada buku-buku fikih karya Imam Syafii seperti al-Umm, al-Imla’, dan lain-lain.
Dengan perkataan lain, para kiai lebih menyukai hasil interpretasi ulama Syafiiyah ketimbang langsung merujuk pada buku-buku fikih karya Imam Syafii sendiri. Karena itu, tak ayal lagi sekiranya para santri pondok pesantren mengetahui fikih Syafii via penjelasan para ulama Syafiiyah bukan dari buku-buku Imam Syafii secara langsung.
Bahkan, di lingkungan ulama Syafiiyah sendiri, seperti dianjurkan Syatha al-Dimyathi, para kiai NU secara formal telah bersepakat untuk bersandar pertama-tama pada pendapat yang disepakati Imam Nawawi dan Imam Rofii. Pertanyaannya kemudian; dimana posisi pendapat ulama Syafiiyah lain seperti Imamul Haramain, Imam Ghazali, Ibnu Daqiqil ‘Id, Zakaria al-Anshari, Khathib al-Syarbini, dan lain-lain.
Atas dasar itu, sebagian intelektual NU secara terus terang berkata bahwa NU sebenarnya bukan bermadzhab Syafii tapi bermadzhab Nawawi atau Rofii (bukan syafi’iyyul madzhabtapi nawawiyyul madzhab; bukan Syafi’iyul madzhab tapi syafi’iyatul madzhab).
Tentu saja pandangan ini tak sepenuhnya benar, karena tak dijumpai perbedaan tajam antara pendapat Imam Syafii dan pendapat ulama Syafiiyah. Dalam banyak kasus fikih, ulama Syafiiyah cenderung menyetujui, mengelaborasi dan menambahkan argumen fikih Syafii. Penting dikemukakan, sebagian kiai memang kerap memperlakukan para ulama Syafiiyah secara tak sejajar.
Padahal, tak menutup kemungkinan, argumen Imam Nawawi dalam suatu kasus kalah kuat dengan argumen yang disuguhkan Zakaria al-Anshari dalam kasus yang sama. Begitu juga sebaliknya pada kasus yang lain. Karena itu, seperti kurang arif, jika kita mengunggulkan pendapat Syaikhani (Nawawi-Rofii) dalam semua perkara fikih dan “menomor-sekiankan” pendapat ulama Syafiiyah lain dalam semua masail fiqhiyyah.
Namun, menarik dicermati. Walau secara de jure NU telah menyepakati, pendapat yang disepakati Imam Nawawi-Imam Rofii berada pada level puncak, dalam prakteknya secara de facto tak terlampau jelas demikian. Bisa disaksikan, ketika bahtsul masa’il terselenggara, para kiai NU tak terbebani untuk pertama-tama mencari pendapat yang disepakati Syaikhani, lalu Imam Nawawi, Imam Rofii, dan seterusnya.
Dalam penelusuran ta’bir, para kiai bisa memungut ta’bir kitab secara bebas, berselancar dari satu kitab fikih ke kitab fikih lain. Tak terlihat ada sekat psikologis yang menghalangi para kiai untuk berpindah-pindah kitab fikih walau masih dalam rumpun kutub Syafiiyah. Karena itu, keputusan dalam Muktamar NU Surabaya yang cenderung mengglorifikasi Imam Nawawi-Imam Rofii perlu diubah untuk disesuaikan dengan asas kesetaraan yang telah lama berlangsung dalam bahtsul masa’il NU.
Melalui Munas NU di Lampung tahun 1992, para kiai NU juga mengintroduksi kemungkinan melakukan ilhaq al-masa’il bi nadha’iriha. Ilhaq ini sengaja diajukan konon untuk menghindar dari melakukan qiyas yang nota bene merupakan domain para mujtahid, sementara para kiai NU merasa belum berada di level mujtahid itu. Dan kita tahu, dalam ilhaq, yang dijadikan mulhaq bih adalah aqwalul ulama, sementara aqwalul ulama itu sendiri adalah hasil ijtihad para ulama yang terikat dengan ruang dan waktu.
Artinya, berbeda dengan qiyas yang maqis ‘alaihi-nya adalah sesuatu yang tetap-tak berubah (tsawabit), maka mulhaq bih di dalam ilhaqadalah sesuatu yang dinamis dan berubah (mutaghayyirat). Pertanyaannya, bagaimana sesuatu yang rentan terhadap perubahan bisa dijadikan sandaran dalam merespons soal-soal fikih yang terus berkembang? Karena itu, ada tawaran, yang dilakukan para kiai NU itu seharusnya qiyas bukan ilhaq. Persis di sini sandungannya. Jika kita mendorong penggunaan qiyas, maka kita akan berhadapan dengan keengganan para kiai untuk berqiyas.
Telah lama dikeluhkan, bahtsul masail NU lebih banyak merupakan aktivitas untuk mencocok-cocokkan kasus-kasus hukum (waqai’ fiqhiyyah) dengan ‘ibaratul kutub.Keluhan ini dibangun di atas kesadaran bahwa sekalipun kasus hukum yang ada sekarang tampak serupa dengan kasus lama yang sudah ditangani para ulama lampau, hakekatnya tetaplah kasus lama dan kasus baru itu berbeda.
Sebab, konteks zamannya sudah beda dan manusia yang menjadi obyek hukumnya pun juga beda. Untuk mengukuhkan kesadaran itu, maka dikutiplah perkataan al-Syathibi, “Setiap perkara yang datang adalah perkara baru (umurun musta’nafah)”, karena sesungguhnya tak ada perkara yang berulang.
Untuk menghindari bahtsul masail hanya merupakan kerja pencocokan ibaratul kutubitu, para kiai menyelenggarakan halaqah di PP Watucongol Muntilan Magelang pada tanggal 15-17 Desember 1988 dengan tema “Telaah Kitab Kuning Secara Kontekstual”.
Poin-poin yang dihasilkan dalam halaqah tersebut, di antaranya adalah; [a]. memahami teks kitab klasik harus dengan konteks sosial-historisnya; [b]. mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab; [c]. memperbanyak muqabalah (perbandingan) dengan kitab-kitab lain, baik dalam lingkup madzhab Syafii maupun di luar madzhab; [d]. Meningkatkan intensitas diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik;
[e]. mampu menghadapkan kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual dengan bahasa yang komunikatif. Poin-poin itu tentu cukup brilian. Tapi, ntah karena sibuk atau apa, sebagian kiai tak suka melakukaan penelaahan kitab kuning secara kontektual.
Lebih maju lagi, melalui Munas Lampung tahun 1992, NU mengajak audiens ulama NU untuk melakukan istinbath jamai dengan tetap bertumpu pada manhaj (ushul fikih) imam madzhab. Ini terutama untuk menangani kasus-kasus fikih baru yang belum pernah ada zaman dahulu. Namun, sampai sekarang belum dirumuskan perihal mekanisme istinbath jamai tersebut.
Apakah istinbath jamai itu sama belaka denganijtihad jamai seperti disuarakan para ulama non-NU selama ini? Belum juga terjabarkan mengenai manhaj siapa yang akan menjadi pegangan? Apakah dimungkinkan melakukan “talfiq manhaji”? Ataukah, jika secara qawli kita melakukan “al-tamadzhub bi madzhabin mu’ayyan”, maka apakah secara metodologis kita juga perlu “al-tamanhuj bi manhajin mu’ayyan”. Di sinilah, kita memerlukan kajian khusus untuk memilih satu metodologi dari beragam metodologi yang sudah ada.
Inilah pokok-pokok pikiran yang bisa menjadi renungan akademis kita bersama, sebelum kita merumuskan Metode Bahtsul Masail NU secara final di arena muktamar NU nanti di Jombang Jawa Timur 1-5 Agustus 2015. In sya’a Allah. In uridu illa al-Ishlah ma istatha’tu wa ma taufiqi illa bi Allah.
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam halaqah terbatas yang diselenggarakan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Jakarta, 5 Pebruari 2015.
http://islamlib.com/lembaga/nahdlatululama/metode-bahtsul-masail-nu/
IslamLib – Tak bisa dipungkiri mengenai terlalu dominannya fikih-madzhab Syafii di lingkungan NU. Ini menurut (Alm.) Kiai Sahal Mahfudz, bukan karena para kiai NU menolak aqwal di luar fikih Syafii, melainkan karena keterbatasan referensi fikih non-Syafii yang dimiliki para kiai NU. Namun, pada hemat saya, masalah sebenarnya bukan terletak pada apakah kita pro-Imam Syafii dan kontra imam madzhab lain, tapi pada apakah kita pro-para ulama Syafiiyah dan “kontra” Imam Syafii.
Betapa sering disaksikan, ketika berbicara mengenai fikih Syafii misalnya, para kiai lebih suka merujuk pada buku-buku karya ulama Syafiiyah seperti Imam Nawawi dan Imam Rofii ketimbang pada buku-buku fikih karya Imam Syafii seperti al-Umm, al-Imla’, dan lain-lain.
Dengan perkataan lain, para kiai lebih menyukai hasil interpretasi ulama Syafiiyah ketimbang langsung merujuk pada buku-buku fikih karya Imam Syafii sendiri. Karena itu, tak ayal lagi sekiranya para santri pondok pesantren mengetahui fikih Syafii via penjelasan para ulama Syafiiyah bukan dari buku-buku Imam Syafii secara langsung.
Bahkan, di lingkungan ulama Syafiiyah sendiri, seperti dianjurkan Syatha al-Dimyathi, para kiai NU secara formal telah bersepakat untuk bersandar pertama-tama pada pendapat yang disepakati Imam Nawawi dan Imam Rofii. Pertanyaannya kemudian; dimana posisi pendapat ulama Syafiiyah lain seperti Imamul Haramain, Imam Ghazali, Ibnu Daqiqil ‘Id, Zakaria al-Anshari, Khathib al-Syarbini, dan lain-lain.
Atas dasar itu, sebagian intelektual NU secara terus terang berkata bahwa NU sebenarnya bukan bermadzhab Syafii tapi bermadzhab Nawawi atau Rofii (bukan syafi’iyyul madzhabtapi nawawiyyul madzhab; bukan Syafi’iyul madzhab tapi syafi’iyatul madzhab).
Tentu saja pandangan ini tak sepenuhnya benar, karena tak dijumpai perbedaan tajam antara pendapat Imam Syafii dan pendapat ulama Syafiiyah. Dalam banyak kasus fikih, ulama Syafiiyah cenderung menyetujui, mengelaborasi dan menambahkan argumen fikih Syafii. Penting dikemukakan, sebagian kiai memang kerap memperlakukan para ulama Syafiiyah secara tak sejajar.
Padahal, tak menutup kemungkinan, argumen Imam Nawawi dalam suatu kasus kalah kuat dengan argumen yang disuguhkan Zakaria al-Anshari dalam kasus yang sama. Begitu juga sebaliknya pada kasus yang lain. Karena itu, seperti kurang arif, jika kita mengunggulkan pendapat Syaikhani (Nawawi-Rofii) dalam semua perkara fikih dan “menomor-sekiankan” pendapat ulama Syafiiyah lain dalam semua masail fiqhiyyah.
Namun, menarik dicermati. Walau secara de jure NU telah menyepakati, pendapat yang disepakati Imam Nawawi-Imam Rofii berada pada level puncak, dalam prakteknya secara de facto tak terlampau jelas demikian. Bisa disaksikan, ketika bahtsul masa’il terselenggara, para kiai NU tak terbebani untuk pertama-tama mencari pendapat yang disepakati Syaikhani, lalu Imam Nawawi, Imam Rofii, dan seterusnya.
Dalam penelusuran ta’bir, para kiai bisa memungut ta’bir kitab secara bebas, berselancar dari satu kitab fikih ke kitab fikih lain. Tak terlihat ada sekat psikologis yang menghalangi para kiai untuk berpindah-pindah kitab fikih walau masih dalam rumpun kutub Syafiiyah. Karena itu, keputusan dalam Muktamar NU Surabaya yang cenderung mengglorifikasi Imam Nawawi-Imam Rofii perlu diubah untuk disesuaikan dengan asas kesetaraan yang telah lama berlangsung dalam bahtsul masa’il NU.
Melalui Munas NU di Lampung tahun 1992, para kiai NU juga mengintroduksi kemungkinan melakukan ilhaq al-masa’il bi nadha’iriha. Ilhaq ini sengaja diajukan konon untuk menghindar dari melakukan qiyas yang nota bene merupakan domain para mujtahid, sementara para kiai NU merasa belum berada di level mujtahid itu. Dan kita tahu, dalam ilhaq, yang dijadikan mulhaq bih adalah aqwalul ulama, sementara aqwalul ulama itu sendiri adalah hasil ijtihad para ulama yang terikat dengan ruang dan waktu.
Artinya, berbeda dengan qiyas yang maqis ‘alaihi-nya adalah sesuatu yang tetap-tak berubah (tsawabit), maka mulhaq bih di dalam ilhaqadalah sesuatu yang dinamis dan berubah (mutaghayyirat). Pertanyaannya, bagaimana sesuatu yang rentan terhadap perubahan bisa dijadikan sandaran dalam merespons soal-soal fikih yang terus berkembang? Karena itu, ada tawaran, yang dilakukan para kiai NU itu seharusnya qiyas bukan ilhaq. Persis di sini sandungannya. Jika kita mendorong penggunaan qiyas, maka kita akan berhadapan dengan keengganan para kiai untuk berqiyas.
Telah lama dikeluhkan, bahtsul masail NU lebih banyak merupakan aktivitas untuk mencocok-cocokkan kasus-kasus hukum (waqai’ fiqhiyyah) dengan ‘ibaratul kutub.Keluhan ini dibangun di atas kesadaran bahwa sekalipun kasus hukum yang ada sekarang tampak serupa dengan kasus lama yang sudah ditangani para ulama lampau, hakekatnya tetaplah kasus lama dan kasus baru itu berbeda.
Sebab, konteks zamannya sudah beda dan manusia yang menjadi obyek hukumnya pun juga beda. Untuk mengukuhkan kesadaran itu, maka dikutiplah perkataan al-Syathibi, “Setiap perkara yang datang adalah perkara baru (umurun musta’nafah)”, karena sesungguhnya tak ada perkara yang berulang.
Untuk menghindari bahtsul masail hanya merupakan kerja pencocokan ibaratul kutubitu, para kiai menyelenggarakan halaqah di PP Watucongol Muntilan Magelang pada tanggal 15-17 Desember 1988 dengan tema “Telaah Kitab Kuning Secara Kontekstual”.
Poin-poin yang dihasilkan dalam halaqah tersebut, di antaranya adalah; [a]. memahami teks kitab klasik harus dengan konteks sosial-historisnya; [b]. mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab; [c]. memperbanyak muqabalah (perbandingan) dengan kitab-kitab lain, baik dalam lingkup madzhab Syafii maupun di luar madzhab; [d]. Meningkatkan intensitas diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik;
[e]. mampu menghadapkan kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual dengan bahasa yang komunikatif. Poin-poin itu tentu cukup brilian. Tapi, ntah karena sibuk atau apa, sebagian kiai tak suka melakukaan penelaahan kitab kuning secara kontektual.
Lebih maju lagi, melalui Munas Lampung tahun 1992, NU mengajak audiens ulama NU untuk melakukan istinbath jamai dengan tetap bertumpu pada manhaj (ushul fikih) imam madzhab. Ini terutama untuk menangani kasus-kasus fikih baru yang belum pernah ada zaman dahulu. Namun, sampai sekarang belum dirumuskan perihal mekanisme istinbath jamai tersebut.
Apakah istinbath jamai itu sama belaka denganijtihad jamai seperti disuarakan para ulama non-NU selama ini? Belum juga terjabarkan mengenai manhaj siapa yang akan menjadi pegangan? Apakah dimungkinkan melakukan “talfiq manhaji”? Ataukah, jika secara qawli kita melakukan “al-tamadzhub bi madzhabin mu’ayyan”, maka apakah secara metodologis kita juga perlu “al-tamanhuj bi manhajin mu’ayyan”. Di sinilah, kita memerlukan kajian khusus untuk memilih satu metodologi dari beragam metodologi yang sudah ada.
Inilah pokok-pokok pikiran yang bisa menjadi renungan akademis kita bersama, sebelum kita merumuskan Metode Bahtsul Masail NU secara final di arena muktamar NU nanti di Jombang Jawa Timur 1-5 Agustus 2015. In sya’a Allah. In uridu illa al-Ishlah ma istatha’tu wa ma taufiqi illa bi Allah.
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam halaqah terbatas yang diselenggarakan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Jakarta, 5 Pebruari 2015.
http://islamlib.com/lembaga/nahdlatululama/metode-bahtsul-masail-nu/
Ini Susunan Pengurus PBNU 2015-2020
Detik, Sabtu 22 Aug 2015, 18:42 WIB
Ini Susunan Pengurus PBNU 2015-2020
Rina Atriana - detikNews
Jakarta - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengumumkan susunan kepengurusan baru periode 2015-2020. Duduk sebagai ketua umum yaitu Said Aqil Siradj dan bertindak sebagai wakil ketua umum Slamet Effendy Yusuf.
Said Aqil dalam sambutannya mengatakan, pengurus NU yang baru juga menjaring dari Indonesia tengah dan timur. Tokoh-tokoh muda yang punya peran besar diberikan kesempatan.
"Kami juga memberi perhatian kepada Indonesia timur dan Indonesia tengah. Menampung aktivis-aktivis di muktamar dulu," kata Said Aqil dalam konferensi pers pengurus baru NU di Kantor Pusat PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (22/8/2015).
Said Aqil menjelaskan, ia akan menjaga NU agar tak ikut terlibat dalam politik praktis. "Kita kawal NU tak ikut politik praktis," tegasnya.
Berikut susunan pengurus PBNU hasil rapat tim formatur secara lengkap:
Mustasyar
KH. Maemun Zubair
Dr. KH. Ahmad Mustofa Bisri
KH. Nawawi Abdul Jamil
KH. Abdul Muchit Muzadi
Prof. Dr. KH. M. Tholhah Hasan
KH. Dimyati Rois
KH. Makhtum Hannan
KH. Muhtadi Dimyathi
AGH. Sanusi Baco
TGH Turmudzi Badaruddin
KH. Zaenuddin Djazuli
KH. Abdurrahman Musthafa
KH. M. Anwar Mansyur
KH. Habib Luthfi bin Yahya
KH. Sya'roni Ahmadi
KH. Ahmad Syatibi
KH. Syukri Unus
Dr. H. M. Jusuf Kalla
Prof. Dr. Chotibul Umam
Prof. Dr. Tengku H. Muslim Ibrahim
KH. Hasbullah Badawi
KH. Hasyim Wahid
KH. Thohir Syarqawi Pinrang
KH. Hamdan Kholid
KH. Saifuddin Amsir
KH. Zubair Muntashor
KH. Ahmad Basyir
KH. Ahmad Shodiq
KH. Mahfud Ridwan
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA.
Prof. Dr. H. Machasin, MA.
KH. Adib Rofiuddin Izza
Habib Zein bin Smith
Dr. Ir. Awang Faroeq Ishaq
Rais Aam
Dr. KH. Ma'ruf Amin
Wakil Rais Aam
KH. Miftahul Akhyar
Rais
KH. Mas Subadar
KH. Masdar Farid Mas'udi
KH. Ahmad Ishomuddin, M.Ag.
KH. A. R. Ibnu Ubaidillah Syatori
KH. Dimyati Romli
KH. Abdullah Khafabihi Mahrus
KH. Khalilurrahman
KH. Syarifuddin Abdul Ghani
KH. Ali Akbar Marbun
KH. Subhan Makmun
KH. M. Mustofa Aqil Siroj
KH. Cholil As'ad Samsul Arifin
KH. Idris Hamid
KH. Akhmad Said Asrori
KH. Abdul Hakim
Dr. KH. Zakki Mubarok
Prof. Dr. Maskuri Abdillah
KH. Najib Abdul Qadir
Katib Aam
KH. Yahya Cholil Staquf
Katib
KH. Mujib Qulyubi
Drs. KH. Shalahuddin al-Ayyubi, M.Si.
Dr. KH. Abdul Ghafur Maemun
KH. Zulfa Musthafa
Dr. H. Asrorun Ni'am Shaleh
KH. Acep Adang Ruchiyat
KH. Lukman Hakim Haris
KH. Taufuqurrahman Yasin
KH. Abdussalam Shohib
KH. Zamzami Amin
Dr. H. Sa'dullah Affandy, M.Ag.
A'wan
KH. Abun Bunyamin Ruchiat
Drs. KH. Cholid Mawardi
KH. TK Bagindo M. Letter
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Lubis
KH. Mukhtar Royani
KH. Abdullah Syarwani, SH.
KH. Eep Nuruddin, M.Pd.I.
Drs. KH. Nuruddin Abdurrahman, SH.
KH. Ulinnuha Arwani
KH. Abdul Azis Khayr Afandi
H. Fauzi Nur
Dr. KH. Hilmi Muhammadiyah, M.Si.
KH. Maulana Kamal Yusuf
KH. Ahmad Bagja
KH. Muadz Thohir
KH. Maimun Ali
H. Imam Mudzakir
H. Ahm,ad Ridlwan
Drs. H. Taher Hasan
Dra. Hj. Sinta Nuriyah, M.Hum.
Dra. Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid
Nyai. Hj. Nafisah Sahal Mahfudh
Prof. Dr. Hj. Chuzaimah T. Yanggo
Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, MA.
Prof. Dr. Hj. Ibtisyaroh, SH., MM.
Dr. Hj. Sri Mulyati
Ketua umum
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA.
Wakil ketua umum
Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.
Ketua
Drs. H. Saifullah Yusuf
Dr. H. Marsudi Syuhud
Prof. Dr. M. Nuh, DEA.
Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum Machfoedz, M.Sc.
Drs. KH. Abbas Muin, Lc.
Drs. H. Imam Azis
Drs. H. Farid Wajdi, M.Pd.
Dr. H. Muh. Salim al-Jufri, M.Sos.I.
KH. Hasib Wahab
Dr. H. Hanief Saha Ghafur
KH. Abdul Manan Ghani
KH. Aizzuddin Abdurrahman, SH.
H. Nusron Wahid, SE., M.SE.
Dr. H. Eman Suryaman
Robikin Emhas, SH. MH.
Ir. H. Iqbal Sullam
H. M. Sulton Fatoni, M.Si.
Sekretaris Jenderal
Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini
Wakil Sekretaris Jenderal
H. Andi Najmi Fuaidi, SH.
dr. H. Syahrizal Syarif, MPH., Ph.D.
Drs. H. Masduki Baidlowi
Drs. H. Abdul Mun'im DZ
Ishfah Abidal Azis, SH.I.
H. Imam Pituduh, SH. MH.
Ir. Suwadi D. Pranoto
H. Ulil A. Hadrawi, M.Hum.
H. Muhammad Said Aqil, Spd.
Sultonul Huda, M.Si.
Dr. Aqil Irham
Heri Haryanto
Bendahara Umum
Dr.-Ing. H. Bina Suhendra
Bendahara
H. Abidin
H. Bayu Priawan Joko Sutono, SE., M.BM.
H. Raja Sapta Ervian, SH., M.Hum.
H. Nurhin
H. Hafidz Taftazani
Umarsyah HS
N. M. Dipo Nusantara Pua Upa
(rna/dhn)
http://news.detik.com/berita/2998570/ini-susunan-pengurus-pbnu-2015-2020
Ini Susunan Pengurus PBNU 2015-2020
Rina Atriana - detikNews
Jakarta - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengumumkan susunan kepengurusan baru periode 2015-2020. Duduk sebagai ketua umum yaitu Said Aqil Siradj dan bertindak sebagai wakil ketua umum Slamet Effendy Yusuf.
Said Aqil dalam sambutannya mengatakan, pengurus NU yang baru juga menjaring dari Indonesia tengah dan timur. Tokoh-tokoh muda yang punya peran besar diberikan kesempatan.
"Kami juga memberi perhatian kepada Indonesia timur dan Indonesia tengah. Menampung aktivis-aktivis di muktamar dulu," kata Said Aqil dalam konferensi pers pengurus baru NU di Kantor Pusat PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (22/8/2015).
Said Aqil menjelaskan, ia akan menjaga NU agar tak ikut terlibat dalam politik praktis. "Kita kawal NU tak ikut politik praktis," tegasnya.
Berikut susunan pengurus PBNU hasil rapat tim formatur secara lengkap:
Mustasyar
KH. Maemun Zubair
Dr. KH. Ahmad Mustofa Bisri
KH. Nawawi Abdul Jamil
KH. Abdul Muchit Muzadi
Prof. Dr. KH. M. Tholhah Hasan
KH. Dimyati Rois
KH. Makhtum Hannan
KH. Muhtadi Dimyathi
AGH. Sanusi Baco
TGH Turmudzi Badaruddin
KH. Zaenuddin Djazuli
KH. Abdurrahman Musthafa
KH. M. Anwar Mansyur
KH. Habib Luthfi bin Yahya
KH. Sya'roni Ahmadi
KH. Ahmad Syatibi
KH. Syukri Unus
Dr. H. M. Jusuf Kalla
Prof. Dr. Chotibul Umam
Prof. Dr. Tengku H. Muslim Ibrahim
KH. Hasbullah Badawi
KH. Hasyim Wahid
KH. Thohir Syarqawi Pinrang
KH. Hamdan Kholid
KH. Saifuddin Amsir
KH. Zubair Muntashor
KH. Ahmad Basyir
KH. Ahmad Shodiq
KH. Mahfud Ridwan
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA.
Prof. Dr. H. Machasin, MA.
KH. Adib Rofiuddin Izza
Habib Zein bin Smith
Dr. Ir. Awang Faroeq Ishaq
Rais Aam
Dr. KH. Ma'ruf Amin
Wakil Rais Aam
KH. Miftahul Akhyar
Rais
KH. Mas Subadar
KH. Masdar Farid Mas'udi
KH. Ahmad Ishomuddin, M.Ag.
KH. A. R. Ibnu Ubaidillah Syatori
KH. Dimyati Romli
KH. Abdullah Khafabihi Mahrus
KH. Khalilurrahman
KH. Syarifuddin Abdul Ghani
KH. Ali Akbar Marbun
KH. Subhan Makmun
KH. M. Mustofa Aqil Siroj
KH. Cholil As'ad Samsul Arifin
KH. Idris Hamid
KH. Akhmad Said Asrori
KH. Abdul Hakim
Dr. KH. Zakki Mubarok
Prof. Dr. Maskuri Abdillah
KH. Najib Abdul Qadir
Katib Aam
KH. Yahya Cholil Staquf
Katib
KH. Mujib Qulyubi
Drs. KH. Shalahuddin al-Ayyubi, M.Si.
Dr. KH. Abdul Ghafur Maemun
KH. Zulfa Musthafa
Dr. H. Asrorun Ni'am Shaleh
KH. Acep Adang Ruchiyat
KH. Lukman Hakim Haris
KH. Taufuqurrahman Yasin
KH. Abdussalam Shohib
KH. Zamzami Amin
Dr. H. Sa'dullah Affandy, M.Ag.
A'wan
KH. Abun Bunyamin Ruchiat
Drs. KH. Cholid Mawardi
KH. TK Bagindo M. Letter
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Lubis
KH. Mukhtar Royani
KH. Abdullah Syarwani, SH.
KH. Eep Nuruddin, M.Pd.I.
Drs. KH. Nuruddin Abdurrahman, SH.
KH. Ulinnuha Arwani
KH. Abdul Azis Khayr Afandi
H. Fauzi Nur
Dr. KH. Hilmi Muhammadiyah, M.Si.
KH. Maulana Kamal Yusuf
KH. Ahmad Bagja
KH. Muadz Thohir
KH. Maimun Ali
H. Imam Mudzakir
H. Ahm,ad Ridlwan
Drs. H. Taher Hasan
Dra. Hj. Sinta Nuriyah, M.Hum.
Dra. Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid
Nyai. Hj. Nafisah Sahal Mahfudh
Prof. Dr. Hj. Chuzaimah T. Yanggo
Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, MA.
Prof. Dr. Hj. Ibtisyaroh, SH., MM.
Dr. Hj. Sri Mulyati
Ketua umum
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA.
Wakil ketua umum
Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.
Ketua
Drs. H. Saifullah Yusuf
Dr. H. Marsudi Syuhud
Prof. Dr. M. Nuh, DEA.
Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum Machfoedz, M.Sc.
Drs. KH. Abbas Muin, Lc.
Drs. H. Imam Azis
Drs. H. Farid Wajdi, M.Pd.
Dr. H. Muh. Salim al-Jufri, M.Sos.I.
KH. Hasib Wahab
Dr. H. Hanief Saha Ghafur
KH. Abdul Manan Ghani
KH. Aizzuddin Abdurrahman, SH.
H. Nusron Wahid, SE., M.SE.
Dr. H. Eman Suryaman
Robikin Emhas, SH. MH.
Ir. H. Iqbal Sullam
H. M. Sulton Fatoni, M.Si.
Sekretaris Jenderal
Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini
Wakil Sekretaris Jenderal
H. Andi Najmi Fuaidi, SH.
dr. H. Syahrizal Syarif, MPH., Ph.D.
Drs. H. Masduki Baidlowi
Drs. H. Abdul Mun'im DZ
Ishfah Abidal Azis, SH.I.
H. Imam Pituduh, SH. MH.
Ir. Suwadi D. Pranoto
H. Ulil A. Hadrawi, M.Hum.
H. Muhammad Said Aqil, Spd.
Sultonul Huda, M.Si.
Dr. Aqil Irham
Heri Haryanto
Bendahara Umum
Dr.-Ing. H. Bina Suhendra
Bendahara
H. Abidin
H. Bayu Priawan Joko Sutono, SE., M.BM.
H. Raja Sapta Ervian, SH., M.Hum.
H. Nurhin
H. Hafidz Taftazani
Umarsyah HS
N. M. Dipo Nusantara Pua Upa
(rna/dhn)
http://news.detik.com/berita/2998570/ini-susunan-pengurus-pbnu-2015-2020
Selasa, 18 Juni 2013
Pancasila's Contemporary Appeal: Re-legitimizing Indonesia's Founding Ethos
Background - Call for Papers
Indonesia's first president, Sukarno, created a revolutionary concept as the founding ethos of the newborn state of Indonesia. Pancasila was formulated as an intellectual concept to unify the rich variety of cultural, ethnic, linguistic, social and religious groups found throughout the vast and diverse Indonesian archipelago. Expanding its reach into all fields of society touching upon economics, politics, social justice, religion and human rights, after much contested debate, Pancasila was eventually accepted as the founding ethos of Indonesia.
Indonesia's first president, Sukarno, created a revolutionary concept as the founding ethos of the newborn state of Indonesia. Pancasila was formulated as an intellectual concept to unify the rich variety of cultural, ethnic, linguistic, social and religious groups found throughout the vast and diverse Indonesian archipelago. Expanding its reach into all fields of society touching upon economics, politics, social justice, religion and human rights, after much contested debate, Pancasila was eventually accepted as the founding ethos of Indonesia.
Many years of economic, educational, political, and state-building development have passed since Pancasila was first espoused, resulting in the contemporary reality of Indonesian society. The current evolution of globalization and supra-national state structures have redefined the nation-state, directly challenging the relevance of a political philosophy developed decades ago and have put intense pressure upon the current interpretation of Pancasila.
The aim of this conference is to address questions and issues exploring to what degree Pancasila, as the founding ethos of Indonesia, continues to be relevant in a global and modern Indonesian society? To what degree can Pancasila and its followers address the various challenges of the centrifugal forces of globalization and modernity?
True to the multidisciplinary goal of the Yale Indonesia Forum (YIF), this topic will be approached by scientists and researchers from various intellectual and academic disciplines in order to highlight and question the different aspects of Indonesia's founding ethos of Pancasila. Abstracts are therefore invited for papers from scholars focusing on any social, economic, cultural, or religious aspect of this issue. Yogyakarta has again been chosen to host this year's YIF conference because of its nature as center of academic excellence in Indonesia, and as such, capacity to bring together intellectually and ethnically diverse people from all parts of Indonesia.
Day 1
08.00 - 09.30 : Registration
09.00 - 10:00 : Opening Ceremony
Welcome by Fr. Ninik Yudiyanti, Vice-President of Sanata Dharma University.
Presentation of Towards An Inclusive Democratic Indonesian Society: Bridging the Gap between State Uniformity and Multicultural Identity Patterns, publication No 1 of the Yale Indonesia Forum International Conference Book Series, to Sanata Dharma University by Frank Dhont, YIF Coordinator.
10.00 - 10.15 : Coffee break
10.15-11.45: Panel 1: EXPRESSIONS OF PANCASILA
Moderator: A. Tripriantoro, Sanata Dharma University
Jennifer Goodlander, Ohio University.
"Rhythms of a National Body: Balinese Dance and the Ideology of the Panscasila."
08.00 - 09.30 : Registration
09.00 - 10:00 : Opening Ceremony
Welcome by Fr. Ninik Yudiyanti, Vice-President of Sanata Dharma University.
Presentation of Towards An Inclusive Democratic Indonesian Society: Bridging the Gap between State Uniformity and Multicultural Identity Patterns, publication No 1 of the Yale Indonesia Forum International Conference Book Series, to Sanata Dharma University by Frank Dhont, YIF Coordinator.
10.00 - 10.15 : Coffee break
10.15-11.45: Panel 1: EXPRESSIONS OF PANCASILA
Moderator: A. Tripriantoro, Sanata Dharma University
Jennifer Goodlander, Ohio University.
"Rhythms of a National Body: Balinese Dance and the Ideology of the Panscasila."
Sita Hidayah, Florida International University/Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia.
"Translating 'Ketuhanan Yang Maha Esa' An Amenable Religious Repertoire?"
"Translating 'Ketuhanan Yang Maha Esa' An Amenable Religious Repertoire?"
M. Endy Saputro, Gadjah Mada University.
"Reinterpreting Pancasila Kita."
11.45 - 12.45 : Lunch break
12.45 - 14.45 : Panel 2: INSPIRING A NATION
Moderator: Tamara Aberle, University of London
"Reinterpreting Pancasila Kita."
11.45 - 12.45 : Lunch break
12.45 - 14.45 : Panel 2: INSPIRING A NATION
Moderator: Tamara Aberle, University of London
Satish Kumar Singh, DAV PG College, Banaras Hindu University
"Pancasila: Ethos of India"
"Pancasila: Ethos of India"
Michael O'Shannassy, Australia National University.
"(Re)Imagining Community: Pancasila and National Identity in Contemporary Indonesia."
"(Re)Imagining Community: Pancasila and National Identity in Contemporary Indonesia."
Saafroedin Bahar, Nusantara Institute.
"Pancasila, the living Staatsfundamentalnorm of the Indonesian nation-state."
"Pancasila, the living Staatsfundamentalnorm of the Indonesian nation-state."
Rommel A. Curaming, National University of Singapore.
"Consuming National Ideologies in the Blogsphere: Pancasila, Rukunegara and the Changing Matrix of Political Engagement in Indonesia and Malaysia"
14.45 - 15.00 : Coffee break
15.00 - 16.00 : Panel 3: INCLUDING THE OTHERS: PANCASILA FOR ALL?
Moderator: Tamara Aberle, University of London
"Consuming National Ideologies in the Blogsphere: Pancasila, Rukunegara and the Changing Matrix of Political Engagement in Indonesia and Malaysia"
14.45 - 15.00 : Coffee break
15.00 - 16.00 : Panel 3: INCLUDING THE OTHERS: PANCASILA FOR ALL?
Moderator: Tamara Aberle, University of London
Johanes Herlijanto, Macquarie University.
"Encountering the Ideological Other: Indonesians' Perception on Pancasila's 'Archenemy.'"
"Encountering the Ideological Other: Indonesians' Perception on Pancasila's 'Archenemy.'"
Yuwanto, Universitas Diponegoro.
"Exclusive bylaws at odds with state ideology of Pancasila."
Day 2
08.00 - 08.45 : Registration
08.45 - 10.15 : Panel 4: EDUCATION AND PANCASILA VALUES
Moderator: Melanie A. Nyhof, University of Pittsburgh
"Exclusive bylaws at odds with state ideology of Pancasila."
Day 2
08.00 - 08.45 : Registration
08.45 - 10.15 : Panel 4: EDUCATION AND PANCASILA VALUES
Moderator: Melanie A. Nyhof, University of Pittsburgh
Frank Dhont, Yale University.
"Sukarno's Pancasila: a Man of his Time."
"Sukarno's Pancasila: a Man of his Time."
Hastangka, Gadjah Mada University.
"Pancasila Education in the Post Reform Era, Senior High Schools (SMA): A Study in Yogyakarta."
"Pancasila Education in the Post Reform Era, Senior High Schools (SMA): A Study in Yogyakarta."
H. Purwanta, Sanata Dharma University.
"Inculcating Pancasila."
10.15 - 10.30 : Coffee break
10.30 - 12.30 : Panel 5: Questioning Pancasila's relevance: past and present.
Moderator: Melissa Teetzel, Pepperdine University
"Inculcating Pancasila."
10.15 - 10.30 : Coffee break
10.30 - 12.30 : Panel 5: Questioning Pancasila's relevance: past and present.
Moderator: Melissa Teetzel, Pepperdine University
Seung-Won Song, Sogang University.
"Back to Basics in Indonesia?: Reassessing the Pancasila and Pancasila State and Society, 1945-2007."
"Back to Basics in Indonesia?: Reassessing the Pancasila and Pancasila State and Society, 1945-2007."
Victor Sumsky, Institute of World Economy and International Relations.
"Why Pancasila may look irrelevant in 2009 - and why it may not."
"Why Pancasila may look irrelevant in 2009 - and why it may not."
G. Budi Subanar, Sanata Dharma University.
"Story of Pancasila through Visual Art: A Preliminary Research."
"Story of Pancasila through Visual Art: A Preliminary Research."
Michael Wood, Dawson College.
"Has Pancasila Ever been Relevant?: A Historical Inquiry."
12.30 - 13.30: Lunch break
13.30 - 15.30: Panel 6: APPLYING PANCASILA IN A COMMUNITY
Moderator: Melissa Teetzel, Pepperdine University
"Has Pancasila Ever been Relevant?: A Historical Inquiry."
12.30 - 13.30: Lunch break
13.30 - 15.30: Panel 6: APPLYING PANCASILA IN A COMMUNITY
Moderator: Melissa Teetzel, Pepperdine University
Kevin W. Fogg, Yale University.
"Pancasila as an Idea, not an Icon; Masyumi and the State Ideology."
"Pancasila as an Idea, not an Icon; Masyumi and the State Ideology."
Silverio R.L. Aji Sampurno, Sanata Dharma University.
"Pancasila, truly of the Indonesian people: The case of the community of Bening Village in Sleman, Yogyakarta."
"Pancasila, truly of the Indonesian people: The case of the community of Bening Village in Sleman, Yogyakarta."
Pius S. Prasetyo, Parahyangan University.
"Village Democracy : The Interaction Between Local Culture and Modern Political Pattern."
"Village Democracy : The Interaction Between Local Culture and Modern Political Pattern."
Lukas S. Ispandriarno, Atma Jaya Yogyakarta University.
"Pancasila Press after the New Order: The Concept and Practice of Pancasila Press according to the Version of Kedaulatan Rakyat newspaper of Yogyakarta."
15.30-16.00: Closing Ceremony
Closing Remarks by Frank Dhont, Yale University and Silverio R.L. Aji Sampurno, Sanata Dharma University.
"Pancasila Press after the New Order: The Concept and Practice of Pancasila Press according to the Version of Kedaulatan Rakyat newspaper of Yogyakarta."
15.30-16.00: Closing Ceremony
Closing Remarks by Frank Dhont, Yale University and Silverio R.L. Aji Sampurno, Sanata Dharma University.
Closing and presentation of souvenirs to all speakers by Paulus Wiryono Priyotamtomo, President of Sanata Dharma University.
Conference Organizers:
Frank Dhont, Yale University
Silverio R. L. A. Sampurno, Sanata Dharma University
S. Nindito, Atma Jaya Yogyakarta University
Thomas J. Conners, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology
Cooperating Institutions:
Yale Indonesia Forum, Yale University
Sanata Dharma University
Atma Jaya Yogyakarta University
For additional information: E-mail frank.dhont@yale.edu
Frank Dhont, Yale University
Silverio R. L. A. Sampurno, Sanata Dharma University
S. Nindito, Atma Jaya Yogyakarta University
Thomas J. Conners, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology
Cooperating Institutions:
Yale Indonesia Forum, Yale University
Sanata Dharma University
Atma Jaya Yogyakarta University
For additional information: E-mail frank.dhont@yale.edu
Sabtu, 02 Februari 2013
Pelajaran dan Faedah Kisah Ashabul Ukhdud
Dari kisah Ashabul Ukhdud yang telah terlebih dahulu dikontribusikan, terdapat berbagai pelajaran dan faedah yang dapat kita petik kemudian dipahami, dipelajari dan diamalkan. Sehingga kisah ini bukan hanya menjadi pengantar tidur ataupun pengetahuan belaka namun memberikan manfaat bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat. Amiin
Di antara rentang waktu tertentu Alloh menyiapkan orang-orang yang menegakkan menara agamanya dan menyebarkannya di muka bumi. Sebagaimana Dia menyiapkan pemuda ini untuk menjadi sebab berimannya kaumnya. Hal seperti ini terjadi pula pada umat ini dalam bentuk yang lebih agung dan lebih besar. Alloh telah menyiapkan orang-orang yang menyebarkan, menjaga, dan membela agamanya.
Di antara rentang waktu tertentu Alloh menyiapkan orang-orang yang menegakkan menara agamanya dan menyebarkannya di muka bumi. Sebagaimana Dia menyiapkan pemuda ini untuk menjadi sebab berimannya kaumnya. Hal seperti ini terjadi pula pada umat ini dalam bentuk yang lebih agung dan lebih besar. Alloh telah menyiapkan orang-orang yang menyebarkan, menjaga, dan membela agamanya.
Raja memilih pemuda ini untuk dididik menjadi penyihir yang dapat menopang kekuasaannya, akan tetapi Alloh menghendakinya menjadi seorang dai shalih yang menghancurkan kerajaannya dan memberi petunjuk manusia kepada agama yang benar. Dan hal ini mengandung pelajaran bagi orang-orang yang mengambil pelajaran. Alloh menyiapkan untuk agama-Nya orang-orang yang tumbuh di rumah para thaghut agar mereka menjadi dai-dai pemberi petunjuk.
Iman tidak memerlukan waktu yang lama untuk bersemayam di dalam jiwa dan hidup di dalam hati. Kaum pemuda itu yang rela dengan siksa Neraka dunia, maka iman mereka hanya berlangsung beberapa saat saja. Sama dengan mereka adalah para tukang sihir Fir’aun. Ancaman siksa Fir’aun tidak menyurutkan mereka dari iman.
Kadangkala Alloh menampakkan karomah melalui sebagian wali-Nya untuk mendukungnya dengannya dan meneguhkan iman dan keyakinannya. Pemuda ini bukanlah sembarang pemuda. Alloh telah menjawab doanya sehingga binatang itu mati karenanya. Alloh menyembuhkan orang buta dan berpenyakit sopak melalui tangan sang pemuda, juga mengobati orang-orang sakit. Alloh menjawab doanya sehingga dia terbebas dari usaha pembunuhan dan justru bala tentara raja yang diperintahkan untuk membunuhnya, merekalah yang mati.
Mengorbankan jiwa fi sabilillah bukan sedikit pun termasuk bunuh diri. Pemuda ini membeberkan cara yang dengannya raja bisa membunuhnya. Sebagian dari orang-orang mukmin ada yang dilempar ke dalam api, ada pula yang terjun sendiri. Tujuan mereka bukanlah bunuh diri, akan tetapi hal itu mengandung penghinaan kepada para thaghut dan keridhaan dari Rabbul alamin.
Kuatnya permusuhan orang-orang kafir terhadap orang-orang mukmin. Raja dan bala tentaranya telah menggergaji penasihatnya dan pendeta, lalu mereka membakar manusia dengan api.
Penjagaan Alloh terhadap para wali-Nya dan penghinaan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya. Alloh telah menjaga pemuda ini dari usaha pembunuhan, menjawab doanya, dan membinasakan orang-orang yang hendak mencelakainya.
Kewajiban sabar atas cobaan yang menimpa pada jalan Alloh sebagaimana sikap pendeta, penasihat raja, dan pemuda ini yang bersabar sebagaimana orang-orang mukmin dibakar api dengan kesabaran.
Dibolehkan berdusta dalam perang dan yang sejenisnya. Pendeta ini menunjukkan kepada pemuda itu cara menjawab penyihir jika dia menanyakan keterlambatannya dan cara menjawab keluarganya jika dia menanyakan keterlambatannya.
Alloh menampakkan kepada orang-orang zhalim akan kelemahan dan ketidakmampuan mereka. Pemuda ini telah membuat raja pengklaim ketuhanan ini benar-benar mati kutu. Dia tidak mampu membunuhnya, walaupun dia sangat lalim dan bengis. Kelemahananya semakin kentara manakala dia menuruti petunjuk pemuda itu agar bisa membunuhnya.
Penegak akidah terkadang melemah dalam memikul siksaan. Karena kerasnya penyiksaan, dia mungkin membocorkan rahasia yang semestinya tidak boleh dibocorkannya. Di bawah kerasnya siksaan, penasihat raja yang sembuh dari kebutaan itu menunjuk nama si pemuda. Begitu pula si pemuda, dia menyebut nama pendeta ketika berada di bawah kerasnya siksaan. Walaupun demikian, pengakuan ini tidak menurunkan kedudukan keduanya. Keduanya memikul siksaan yang menjadi sebab kematian mereka manakala keduanya diminta untuk mundur dari akidah dan kafir kepada Alloh.
Murid bisa saja afdhal dari gurunya. Pemuda ini mewujudkan apa yang tidak diwujudkan oleh pendeta, namun pemuda itu menjadi seperti itu karena petunjuk pendeta.
Hadis ini membantah orang-orang yang mengklaim bahwa berbuat baik tidak akan bermanfaat dalam dakwah kepada Alloh dan bahwa kewajiban kaum muslimin adalah menegakkan hukum Islam. Adapun menyibukkan diri dengan memberi makan orang yang lapar, memberi pakaian kepada orang telanjang, membangun masjid-masjid dan rumah-rumah sakit, maka semua itu sia-sia belaka. Hadis ini membantah mereka. Alloh telah membuat pemuda ini mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti kebutaan dan penyakit sopak. Hal itu menjadikan orang-orang berkait dengannya dan menerima dakwahnya.
Di muka bumi terdapat para raja lalim yang mengklaim diri sebagai tuhan. Mereka mengiklankan diri mereka sebagai tuhan lain selain Alloh, seperti Fir’aun, Namrud, dan raja bengis yang membakar orang-orang mukmin.
Para penyokong kejahatan selalu berusaha agar kejahatan mereka berlangsung terus sesudah mereka, seperti penyihir ini yang berusaha mewariskan ilmunya yang rusak agar tetap hidup dan menyesatkan manusia.
(Sumber Rujukan: Shahih al-Qashash, DR. Umar Sulaiman Al-Asyqar.)
Sabtu, 26 Januari 2013
TAUBATNYA MALIK IBN DINAR
Bismillahir-Rah maanir-Rahim ... Kehidupanku dimulai dengan kesia-siaan, mabuk-mabukan, maksiat, berbuat zhalim kepada manusia, memakan hak manusia, memakan riba, dan memukuli manusia. Kulakukan segala kezhaliman, tidak ada satu maksiat melainkan aku telah melakukannya. Sungguh sangat jahat hingga manusia tidak menghargaiku karena kebejatanku.
Malik ibnu Dinar menuturkan:
Pada suatu hari, aku merindukan pernikahan dan memiliki anak dari pernikahan tersebut. Maka kemudian aku menikah dan dikarunia seorang putri yang kuberi nama Fathimah. Aku sangat mencintainya. Setiap kali dia bertambah besar, bertambah pula keimanan di dalam hatiku dan semakin sedikit maksiat di dalam hatiku. Pernah suatu ketika Fathimah melihatku memegang segelas khamr, maka diapun mendekat kepada aku dan menyingkirkan gelas tersebut hingga tumpah mengenai bajuku. Saat itu umurnya belum genap dua tahun. Seakan-akan Allah Ta'ala lah yang membuatnya melakukan hal tersebut.
Setiap kali dia bertambah besar, semakin bertambah pula keimanan di dalam hatiku. Setiap kali aku mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala selangkah, maka setiap kali itu pula akau menjauhi maksiat sedikit demi sedikit. Hingga usia Fathimah genap tiga tahun. Saat usianya genap tiga tahun itulah Fathimah meninggal dunia.
Maka akupun berubah menjadi orang yang lebih buruk dari sebelumnya. Aku belum memiliki sikap sabar yang ada pada diri seorang mukmin yang bisa menguatkanku di atas cobaan musibah. Kembalilah aku menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Setanpun mempermainkanku , hingga datang suatu hari, setanku berkata kepadaku: “Sungguh hari ini engkau akan mabuk-mabukan dengan mabuk yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya.” Maka aku bertekad untuk mabuk dan meminum khamr sepanjang malam. Aku minum, minum dan minum. Maka aku lihat diriku telah terlempar di alam mimpi.
Hingga kemudian aku melihat sebuah mimpi. Aku melihat hari kiamat. Matahari telah gelap, lautan telah berubah menjadi api, dan bumipun telah bergoncang. Manusia berkumpul pada hari kiamat. Manusia dalam keadaan berkelompok-kel ompok. Sementara aku berada di antara manusia, mendengar seorang penyeru memanggil: Fulan ibn Fulan, kemari! Mari menghadap al-Jabbar. Aku melihat si Fulan tersebut berubah wajahnya menjadi sangat hitam karena sangat ketakutan. Hingga aku mendengar seorang penyeru menyeru namaku : “Mari menghadap al-Jabbar!”
Kemudian hilanglah seluruh manusia dari sekitarku seakan-akan tidak ada seorangpun di padang Mahsyar. Kemudian aku melihat seekor ular besar yang ganas lagi kuat merayap mengejar kearahku dengan membuka mulutnya. Akupun lari karena sangat ketakutan. Lalu aku mendapati seorang laki-laki tua yang lemah. Akupun berkata: “Hai, selamatkanlah aku dari ular ini!” Dia menjawab: “Wahai anakku aku lemah, aku tak mampu, akan tetapi larilah kearah ini mudah-mudahan engkau selamat!”
Akupun berlari kearah yang ditunjukkannya, sementara ular tersebut berada di belakangku. Tiba-tiba aku mendapati api ada dihadapanku. Akupun berkata: “Apakah aku melarikan diri dari seekor ular untuk menjatuhkan diri ke dalam api?” Akupun kembali berlari dengan cepat sementara ular tersebut semakin dekat. Aku kembali kepada lelaki tua yang lemah tersebut dan berkata: “Demi Allah, wajib atasmu menolong dan menyelamatkanku .” Maka dia menangis karena iba dengan keadaanku seraya berkata: “Aku lemah sebagaimana engkau lihat, aku tidak mampu melakukan sesuatupun, akan tetapi larilah kearah gunung tersebut mudah-mudahan engkau selamat!”
Akupun berlari menuju gunung tersebut sementara ular akan mematukku. Kemudian aku melihat di atas gunung tersebut terdapat anak-anak kecil, dan aku mendengar semua anak tersebut berteriak: “Wahai Fathimah tolonglah ayahmu, tolonglah ayahmu!”
Dia berkata:
Kemudian aku mengetahui bahwa dia adalah putriku. Akupun berbahagia bahwa aku mempunyai seorang putri yang meninggal pada usia tiga tahun yang akan menyelamatkanku dari situasi tersebut. Maka diapun memegangku dengan tangan kanannya, dan mengusir ular dengan tangan kirinya sementara aku seperti mayit karena sangat ketakutan. Lalu dia duduk di pangkuanku sebagaimana dulu di dunia.
Dia berkata kepadaku: “Wahai ayah,
« أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُہُمۡ لِذِڪۡرِ ٱللَّهِ »
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (QS. Al-Hadid: 16)
Maka kukatakan: “Wahai putriku, beritahukanlah kepadaku tentang ular ini.” Dia berkata: “Ini adalah amal keburukanmu, engkau telah membesarkan dan menumbuhkannya hingga hampir memakanmu. Tidakkah engkau tahu wahai ayah, bahwa amal-amal di dunia akan dirupakan menjadi sesosok bentuk pada hari kiamat? Dan lelaki yang lemah tersebut adalah amal shalih, engkau telah melemahkannya hingga dia menangis karena kondisimu dan tidak mampu melakukan sesuatu untuk membantu kondisimu. Seandainya saja engkau tidak melahirkanku, dan seandainya saja tidak mati saat masih kecil, tidak akan ada yang bisa memberikan manfaat kepadamu.”
Dia berkata:
Akupun terbangun dari tidurku dan berteriak: “Wahai Rabbku, sudah saatnya wahai Rabbku, ya, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” Lantas aku mandi dan keluar untuk shalat subuh dan ingin segera bertaubat dan kembali kepada Allah Ta'ala.
Dia berkata:
Akupun masuk ke dalam masjid dan ternyata imampun membaca ayat yang sama:
« أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُہُمۡ لِذِڪۡرِ ٱللَّهِ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (QS. Al-Hadid: 16)
Itulah dia, Malik bin Dinar , salah seorang imam generasi tabi’in, dan termasuk ulama Basrah. Dia dikenal selalu menangis sepanjang malam dan berkata: “Ya ilahi, hanya Engkaulah satu-satunya Dzat yang mengetahui penghuni sorga dari penghuni neraka, maka yang manakah aku di antara kedunya? Ya Allah, jadikanlah aku termasuk penghuni sorga dan jangan jadikan aku termasuk penghuni neraka.”
Malik bin Dinar bertaubat dan dia dikenal bahwa pada setiap harinya selalu berdiri di pintu masjid menyeru dan berkata: “Wahai para hamba yang bermaksiat, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang-orang yang lalai, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang yang melarikan diri (dari ketaatan), kembalilah kepada Penolong-mu! Penolong-mu senantiasa menyeru memanggilmu di malam dan siang hari. Dia berfirman kepadamu: “Barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu hasta. Jika dia mendekatkan dirinya kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu depa. Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku adakan mendatanginya dengan berjalan kecil.”
Aku memohon kepada Allah Ta'ala agar memberikan rizki taubat kepada kita. Tidak ada sesembahan yang hak selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang zhalim.
Malik bin Dinar wafat pada tahun 130 H. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat-Nya yang luas. (Mizanul I’tidal, III/426)
Oleh: Mushthafa Shadiq ar-Rifa’iy, Silsilah Hikayat Hawa`
Wallahu’alam bishshawab, ..
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
~ o ~
Semoga bermanfaat dan Penuh Kebarokahan dari Allah ...
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ....
#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#
--------------- --------------- ----
.... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahum ma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa'atuubu Ilaik ...
by : Mutiara Air Mata Muslimah
Langganan:
Postingan (Atom)